Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim
adalah pahlawan nasional,
salah seorang anggota BPUPKI
dan perumus Pancasila.
Putera KH. M. Hasyim Asy’ari,
pendiri NU, ini lahir di
Jombang, Jawa Timur, 1 Juni
1914 dan wafat di Cimahi, Jawa
Barat, 19 April 1953 pada usia
38 tahun. Ayahanda
Abdurrahman Wahid ini
menjabat Menteri Agama tiga
kabinet (Kabinet Hatta,
Kabinet Natsir dan Kabinet
Sukiman).
Mantan Ketua Tanfidiyyah
PBNU (1948) dan Pemimpin
dan pengasuh kedua
Pesantren Tebuireng (1947 –
1950) ini, merupakan reformis
dunia pendidikan pesantren
dan pendidikan Islam
Indonesia. Ia dikenal juga
sebagai pendiri IAIN (sekarang
UIN).
Pada tahun 1939, ia ikut
berperan pada saat NU
menjadi anggota MIAI (Majelis
Islam A'la Indonesia), sebuah
badan federasi partai dan
ormas Islam di zaman
pendudukan Belanda. Pada 24
Oktober 1943 ia terpilih
menjadi Ketua Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi)
sebuah organisasi
menggantikan MIAI.
Saat pemimpin Masyumi ia
merintis pembentukan Barisan
Hizbullah yang aktif
membantu perjuangan umat
Islam mewujudkan
kemerdekaan. Tahun 1944, ia
ikut mendirikan Sekolah Tinggi
Islam (UIN) di Jakarta yang
pengasuhannya ditangani oleh
KH. A. Kahar Muzakkir. Tahun
1945 ia pun menjadi anggota
BPUPKI dan PPKI.
Wahid Hasjim meninggal dunia
dalam sebuah kecelakaan
mobil di Kota Cimahi tanggal
19 April 1953.
Menimba Ilmu
Wahid Hasjim lahir dari buah
kasih KH. M. Hasyim Asy’ari-
Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas
(Madiun) pada pagi Jum’at
legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1
Juni 1914 M. Ayahandanya
semula memberinya nama
Muhammad Asy’ari, diambil
dari nama kakeknya. Namun,
namanya kemudian diganti
menjadi Abdul Wahid, diambil
dari nama datuknya. Dia anak
kelima dan anak laki-laki
pertama dari 10 bersaudara.
Masa kecilnya diisi dengan
pengasuhan di Madrasah
Tebuireng hingga usi 12 tahun.
Sejak kecil sudah hobi
membaca dan giat memelajari
ilmu-ilmu kesustraan dan
budaya Arab secara
outodidak. Dia hafal banyak
syair Arab yang kemudian
disusun menjadi sebuah buku.
Pada usia 13 tahun, ia sempat
mondok dan belajar di Pondok
Siwalan, Panji, Sidoarjo,
selama 25 hari, mulai awal
Ramadhan hingga tanggal 25
Ramadhan. Kemudian pindah
ke Pesantren Lirboyo, Kediri,
sebuah pesantren yang
didirikan oleh KH. Abdul
Karim, teman dan sekaligus
murid ayahnya.
Kemudian, pada usia 15 tahun,
ia kembali ke Tebuireng dan
baru mengenal huruf latin.
Setelah mengenal huruf latin,
semangat belajarnya semakin
bertambah. Ia belajar ilmu
bumi, bahasa asing,
matematika, dll. JUga rajin
membaca koran dan majalah,
baik yang berbahasa Indonesia
maupun Arab.
Ia pun mulai belajar Bahasa
Arab dan Belanda ketika
berlangganan majalah tiga
bahasa, ”Sumber
Pengetahuan” Bandung.
Setelah itu belajar Bahasa
Inggris.
Ketika umurnya baru 18
tahun, pada tahun 1932, Abdul
Wahid pergi ke tanah suci
Mekkah bersama sepupunya,
Muhammad Ilyas. Mereka
berdua, selain menjalankan
ibadah haji, juga
memperdalam ilmu
pengetahuan seperti nahwu,
shorof, fiqh, tafsir, dan hadis.
Ia menetap di tanah suci
selama 2 tahun.
Terobosan Kurikulum
Pesantren
Sepulang dari tanah suci, ia
membantu ayahnya mengajar
di pesantren. Juga giat terjun
ke tengah-tengah masyarakat.
Pada usianya baru menginjak
20-an tahun, Kiai Wahid sudah
membantu ayahnya menyusun
kurikulum pesantren, menulis
surat balasan dari para ulama
atas nama ayahnya dalam
Bahasa Arab, mewakili sang
ayah dalam berbagai
pertemuan dengan para
tokoh.
Bahkan, seperti ditulis dalam
profilnya di situs web
Pesantren Tebuireng - http://
pesantren.tebuireng.net/?
pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=35
- ketika ayahnya sakit, Abdul
Wahid sudah menggantikan
membaca kitab Shahih
Bukhari, yakni pengajian
tahunan yang diikuti oleh para
ulama dari berbagai penjuru
tanah Jawa dan Madura.
Dia pun melakukan terobosan-
terobosan besar di Tebuireng.
Dia mengusulkan untuk
merubah sistem klasikal
dengan sistem tutorial, serta
memasukkan materi pelajaran
umum ke pesantren. Namun,
usul ini ditolak oleh ayahnya,
karena khawatir akan
menimbulkan masalah antar
sesama pimpinan pesantren.
Tetapi kemudian pada tahun
1935, usulannya tentang
pendirian Madrasah
Nidzamiyah, dimana 70 persen
kurikulum berisi materi
pelajaran umum, diterima
oleh sang ayah.
Pada tahun 1936, Kiai Wahid
mendirikan Ikatan Pelajar
Islam. Ia juga mendirikan
taman bacaan (Perpustakaan
Tebuireng) yang menyediakan
lebih dari seribu judul buku.
Perpustakaan ini juga
berlangganan majalah seperti
Panji Islam, Dewan Islam,
Berita Nahdlatul Ulama, Adil,
Nurul Iman, Penyebar
Semangat, Panji Pustaka,
Pujangga Baru, dan lain
sebagainya. Ini merupakan
terobosan pertama yang
dilakukan pesantren manapun
di Indonesia.
Lalu, ia menikah dengan
Munawaroh (lebih dikenal
dengan nama Sholichah), putri
KH. Bisyri Sansuri (Denanyar
Jombang) pada hari Jumat, 10
Syawal 1356 H./1936 M. Pada
prosesi pernikahan ini, ia
hanya berangkat seorang diri
ke Denanyar dengan hanya
memakai baju lengan pendek
dan bersarung. Bukan
lantaran tidak ada yang mau
mengantar, akan tetapi ia
sendiri yang meninggalkan
para pengiringnya di
belakang.
Pernikahan Wahid-Sholichah
dikaruniai enam orang putra-
putri, yaitu Abdurrahman,
Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily
Khodijah, dan Muhammad
Hasyim.
Sembilan tahun kemudian,
1947, ayahnya KH. M. Hasyim
Asy’ari meningal dunia. Kiai
Wahid pun terpilih secara
aklamasi sebagai pengasuh
Tebuireng menggantikan
ayahandanya. Pilihan ini
berdasarkan kesepakatan
musyawarah keluarga Bani
Hasyim dan Ulama NU
Kabupaten Jombang.
Masuk NU dan Mendirikan
Masyumi
Di tengah kesibukannya
mengelola Tebuireng, Kiai
Wahid aktif menjadi pengurus
NU. Dimulai jadi Sekertaris NU
Ranting Cukir, kemudian
terpilih sebagai Ketua Cabang
NU Kabupaten Jombang, 1938
dan Pengurus PBNU bagian
ma’arif (pendidikan), 1940. Ia
giat mengembangkan dan
mereorganisasi madrasah-
madrasah NU di seluruh
Indonesia. Ia menerbitkan
Majalah Suluh Nahdlatul
Ulama dan juga aktif menulis
di Suara NU dan Berita NU.
Kemudian tahun 1946, Kiai
Wahid terpilih sebagai Ketua
Tanfidiyyah PBNU
menggantikan Kiai Achmad
Shiddiq yang meninggal dunia.
Pada bulan November 1947,
Wahid Hasyim bersama M.
Natsir menjadi pelopor
pelaksanaan Kongres Umat
Islam Indonesia yang
diselenggarakan di Jogjakarta.
Dalam kongres itu diputuskan
pendirian Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi),
sebagai satu-satunya partai
politik Islam di Indonesia.
Ketua umumnya adalah
ayahnya sendiri, Kiai Hasyim
Asy’ari. Namun Kiai Hasyim
melimpahkan semua tugasnya
kepada Wahid Hasyim.
Dalam Masyumi tergabung
tokoh-tokoh Islam nasional,
seperti KH. Wahab Hasbullah,
KH. Bagus Hadikusumo, KH.
Abdul Halim, KH. Ahmad
Sanusi, KH. Zainul Arifin,
Mohammad Roem, dr.
Sukiman, H. Agus Salim,
Prawoto Mangkusasmito,
Anwar Cokroaminoto,
Mohammad Natsir, dan lain-
lain.
Sejak awal tahun 1950-an, NU
keluar dari Masyumi dan
mendirikan partai sendiri. Kiai
Wahid terpilih sebagai Ketua
Umum Partai NU. Keputusan
ini diambil dalam Kongres
ke-19 NU di Palembang (26-
April-1 Mei 1952). Secara
pribadi, Kiai Wahid tidak
setuju NU keluar dari
Masyumi. Akan tetapi karena
sudah menjadi keputusan
bersama, maka Kiai Wahid
menghormatinya. Hubungan
Kiai Wahid dengan tokoh-
tokoh Masyumi tetap terjalin
baik.
Pahlawan Nasional
Pada tahun 1939, NU masuk
menjadi anggota Majelis Islam
A'la Indonesia (MIAI), sebuah
federasi partai dan ormas
Islam di Indonesia. Setelah
masuknya NU, dilakukan
reorganisasi dan saat itulah
Kiai Wahid terpilih menjadi
ketua MIAI, dalam Kongres
tanggal 14-15 September 1940
di Surabaya.
Di bawah kepemimpinan Kiai
Wahid, MIAI melakukan
tuntutan kepada pemerintah
Kolonial Belanda untuk
mencabut status Guru
Ordonantie tahun 1925 yang
sangat membatasi aktivitas
guru-guru agama. Bersama
GAPI (Gabungan Partai Politik
Indonesia) dan PVPN (Asosiasi
Pegawai Pemerintah), MIAI
juga membentuk Kongres
Rakyat Indonesia sebagai
komite Nsional yang menuntut
Indonesia berparlemen.
Menjelang pecahnya Perang
Dunia ke-II, pemerintah
Belanda mewajibkan donor
darah serta berencana
membentuk milisi sipil
Indonesia sebagai persiapan
menghadapi Perang Dunia.
Sebagai ketua MIAI, Wahid
Hasyim menolak keputusan
itu.
Ketika pemerintah Jepang
membentuk Chuuo Sangi In,
semacam DPR ala Jepang, Kiai
Wahid dipercaya menjadi
anggotanya bersama tokoh-
tokoh pergerakan nasional
lainnya, seperti Ir. Soekarno,
Dr. Mohammad Hatta, Mr.
Sartono, M. Yamin, Ki Hajat
Dewantara, Iskandar Dinata,
Dr. Soepomo, dan lain-lain.
Melalui jabatan ini, Kiai Wahid
berhasil meyakinkan Jepang
untuk membentuk sebuah
Badan Jawatan Agama guna
menghimpun para ulama.
Pada tahun 1942, Pemerintah
Jepang menangkap Hadratusy
Sayeikh Kiai Hasyim Asy'ari
dan menahannya di Surabaya.
Wahid Hasyim berupaya
membebaskannya dengan
melakukan lobi-lobi politik.
Hasilnya, pada bulan Agustus
1944, Kiai Hasyim Asy'ari
dibebaskan. Sebagai
kompensasinya, Pemerintah
Jepang menawarinya menjadi
ketua Shumubucho, Kepala
Jawatan Agama Pusat. Kiai
Hasyim menerima tawaran itu,
tetapi karena alasan usia dan
tidak ingin meninggalkan
Tebuireng, maka tugasnya
dilimpahkan kepada Kiai
Wahid.
Bersama para pemimpin
pergerakan nasional (seperti
Soekarno dan Hatta), Wahid
Hasyim memanfaatkan
jabatannya untuk persiapan
kemerdekaan RI. Dia
membentuk Kementerian
Agama, lalu membujuk Jepang
untuk memberikan latihan
militer khusus kepada para
santri, serta mendirikan
barisan pertahanan rakyat
secara mandiri. Inilah cikal-
bakal terbentuknya laskar
Hizbullah dan Sabilillah yang,
bersama PETA, menjadi
embrio lahirnya Tentara
Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal 29 April 1945,
pemerintah Jepang
membentuk Dokuritsu Zyunbi
Tyooisakai atau Badan
Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), dan Wahid Hasyim
menjadi salah satu
anggotanya. Dia merupakan
tokoh termuda dari sembilan
tokoh nasional yang
menandatangani Piagam
Jakarta, sebuah piagam yang
melahirkan proklamasi dan
konstitusi negara. Dia berhasil
menjembatani perdebatan
sengit antara kubu nasionalis
yang menginginkan bentuk
Negara Kesatuan, dan kubu
Islam yang menginginkan
bentuk negara berdasarkan
syariat Islam. Saat itu ia juga
menjadi penasihat Panglima
Besar Jenderal Soedirman.
Di dalam kabinet pertama
yang dibentuk Presiden
Sukarno (September 1945),
Kiai Wahid ditunjuk menjadi
Menteri Negara. Demikian
juga dalam Kabinet Sjahrir
tahun 1946. Ketika KNIP
dibentuk, Wahid Hasyim
menjadi salah seorang
anggotanya mewakili Masyumi
dan meningkat menjadi
anggota BPKNIP tahun 1946.
Setelah terjadi penyerahan
kedaulatan RI dan berdirinya
RIS, dalam Kabinet Hatta
tahun 1950 dia diangkat
menjadi Menteri Agama.
Jabatan Menteri Agama terus
dipercayakan kepadanya
selama tiga kali kabinet, yakni
Kabinet Hatta, Natsir, dan
Kabinet Sukiman.
Selama menjabat sebagai
Menteri Agama RI, Kiai Wahid
mengeluarkan tiga keputusan
yang sangat mepengaruhi
sistem pendidikan Indonesia di
masa kini, yaitu :
1. Mengeluarkan Peraturan
Pemerintah tertanggal 20
Januari 1950, yang mewajibkan
pendidikan dan pengajaran
agama di lingkungan sekolah
umum, baik negeri maupun
swasta.
2. Mendirikan Sekolah Guru
dan Hakim Agama di Malang,
Banda-Aceh, Bandung,
Bukittinggi, dan Yogyakarta.
3. Mendirikan Pendidikan Guru
Agama Negeri (PGAN) di
Tanjungpinang, Banda-Aceh,
Padang, Jakarta, Banjarmasin,
Tanjungkarang, Bandung,
Pamekasan, dan Salatiga.
Jasa lainnya ialah pendirian
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta
(tahun 1944), yang
pengasuhannya ditangani oleh
KH. Kahar Muzakkir. Lalu
pada tahun 1950 memutuskan
pendirian Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN)
yang kini menjadi IAIN/UIN/
STAIN, serta mendirikan
wadah Panitia Haji Indonesia
(PHI). Kiai Wahid juga
memberikan ide kepada
Presiden Soekarno untuk
mendirikan masjid Istiqlal
sebagai masjid negara.
Pada tahun 1950, Kiai Wahid
diangkat menjadi Menteri
Agama dan pindah ke Jakarta.
Keluarga Kiai Wahid tinggal di
Jl. Jawa (kini Jl. HOS
Cokroaminoto) No. 112, dan
selanjutnya pada tahun 1952
pindah ke Taman Matraman
Barat no. 8, di dekat Masjid
Jami’ Matraman.
Musibah di Cimindi
Hari itu, Sabtu 18 April 1953,
Kiai Wahid bermaksud pergi
ke Sumedang untuk
menghadiri rapat NU. Kiai
Wahid ditemani tiga orang,
yakni sopirnya dari harian
Pemandangan, rekannya Argo
Sutjipto, dan putera sulungnya
Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus
Dur). Kiai Wahid duduk di jok
belakang bersama Argo
Sutjipto. Daerah di sekitar
Cimahi waktu itu diguyur
hujan lebat sehingga jalan
menjadi licin. Lalu lintas cukup
ramai.
Sekitar pukul 13.00, ketika
memasuki Cimindi, sebuah
daerah antara Cimahi-
Bandung, mobil yang
ditumpangi Kiai Wahid selip
dan sopirnya tidak bisa
menguasai kendaraan. Di
belakangnya banyak iringan-
iringan mobil. Sedangkan dari
arah depan, sebuah truk yang
melaju kencang terpaksa
berhenti begitu melihat ada
mobil zig-zag. Karena mobil
Chevrolet itu melaju cukup
kencang, bagian belakangnya
membentur badan truk
dengan kerasnya. Ketika
terjadi benturan, Kiai Wahid
dan Argo Sutjipto terlempar
ke bawah truk yang sudah
berhenti itu. Keduanya luka
parah. Kiai Wahid terluka
bagian kening, mata, pipi, dan
bagian lehernya. Sedangkan
sang sopir dan Gus Dur tidak
cedera sedikit pun. Mobilnya
hanya rusak bagian belakang
dan masih bisa berjalan
seperti semula.
Kiai Hasyim dan Argo Sutjipto
kemudian dibawa ke Rumah
Sakit Boromeus Bandung.
Sejak mengalami kecelakaan,
keduanya tidak sadarkan diri.
Keesokan harinya, Ahad, 19
April 1953 pukul 10.30, KH.
Abdul Wahid Hasyim dipanggil
ke hadirat Allah Swt. dalam
usia 39 tahun. Beberapa jam
kemudian, tepatnya pukul
18.00 Argo Sutjipto menyusul
menghadap Sang Khalik. Inna
liLlahi wa Inna ilayhi Raji’un.
Jenazah Kiai Wahid kemudian
dibawa ke Jakarta, lalu
diterbangkan ke Surabaya,
dan selanjutnya dibawa ke
Jombang untuk disemayamkan
di pemakaman keluarga
Pesantren Tebuireng. Atas
jasa-jasanya beliau juga
dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional oleh pemerintah.
►crs
HOME