KH Ahmad Dahlan (1868-1923)
Pendiri Muhammadiyah
Ahmad Dahlan (bernama kecil
Muhammad Darwisy), adalah
pelopor dan bapak
pembaharuan Islam. Kyai Haji
kelahiran Yogyakarta, 1
Agustus 1868, inilah yang
mendirikan organisasi
Muhammadiyah pada 18
November 1912. Pahlawan
Nasional Indonesia ini wafat
pada usia 54 tahun di
Yogyakarta, 23 Februari 1923.
KH Ahmad Dahlan mendirikan
organisasi Muhammadiyah
untuk melaksanakan cita-cita
pembaharuan Islam di
nusantara. Ia ingin
mengadakan suatu
pembaharuan dalam cara
berpikir dan beramal menurut
tuntunan agama Islam. Ia ingin
mengajak ummat Islam
Indonesia untuk kembali hidup
menurut tuntunan al-Qur'an
dan al-Hadits. Ia mendirikan
Muhammadiyah bukan sebagai
organisasi politik tetapi
sebagai organisasi sosial
kemasyarakatan dan
keagamaan yang bergerak di
bidang pendidikan.
Pada saat Ahmad Dahlan
melontarkan gagasan
pendirian Muhammadiyah, ia
mendapat tantangan bahkan
fitnahan, tuduhan dan hasutan
baik dari keluarga dekat
maupun dari masyarakat
sekitarnya. Ia dituduh hendak
mendirikan agama baru yang
menyalahi agama Islam. Ada
yang menuduhnya kiai palsu,
karena sudah meniru-niru
bangsa Belanda yang Kristen
dan macam-macam tuduhan
lain. Bahkan ada pula orang
yang hendak membunuhnya.
Namun rintangan-rintangan
tersebut dihadapinya dengan
sabar. Keteguhan hatinya
untuk melanjutkan cita-cita
dan perjuangan pembaharuan
Islam di tanah air bisa
mengatasi semua rintangan
tersebut. 1)
Atas jasa-jasa KH Ahmad
Dahlan dalam membangkitkan
kesadaran bangsa ini melalui
pembaharuan Islam dan
pendidikan, maka Pemerintah
Republik Indonesia
menetapkannya sebagai
Pahlawan Nasional dengan
surat Keputusan Presiden no.
657 tahun 1961. Penetapannya
sebagai Pahlawan Nasional
didasarkan pada empat pokok
penting yakni: Pertama, KH
Ahmad Dahlan telah
mempelopori kebangkitan
ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa
terjajah yang masih harus
belajar dan berbuat.
Kedua, dengan organisasi
Muhammadiyah yang
didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam
yang murni kepada
bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan,
kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan ummat,
dengan dasar iman dan Islam.
Ketiga, dengan organisasinya,
Muhammadiyah telah
mempelopori amal usaha
sosial dan pendidikan yang
amat diperlukan bagi
kebangkitan dan kemajuan
bangsa, dengan jiwa ajaran
Islam. Keempat, dengan
organisasinya, Muhammadiyah
bagian wanita (Aisyiyah) telah
mempelopori kebangkitan
wanita Indonesia untuk
mengecap pendidikan.
Diasuh di Lingkungan
Pesantren
Muhammad Darwisy lahir dari
keluarga ulama dan pelopor
penyebaran dan
pengembangan Islam di tanah
air. Ayahnya, KH Abu Bakar
adalah seorang ulama dan
khatib terkemuka di Masjid
Besar Kasultanan Yogyakarta,
dan ibunya, Nyai Abu Bakar
adalah puteri dari H. Ibrahim
yang juga menjabat penghulu
Kasultanan Yogyakarta pada
masa itu.
Ia anak keempat dari tujuh
orang bersaudara, lima
saudaranya perempuan dan
dua lelaki yakni ia sendiri dan
adik bungsunya. Dalam
silsilah, ia termasuk
keturunan yang kedua belas
dari Maulana Malik Ibrahim,
seorang wali besar dan
seorang yang terkemuka
diantara Wali Songo, yang
merupakan pelopor pertama
dari penyebaran dan
pengembangan Islam di Tanah
Jawa (Kutojo dan Safwan,
1991). 2)Idem
Silsilahnya lengkapnya ialah
Muhammad Darwisy (Ahmad
Dahlan) bin KH Abu Bakar bin
KH Muhammad Sulaiman bin
Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas
bin Demang Djurung Djuru
Kapindo bin Demang Djurung
Djuru Sapisan bin Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom) bin Maulana
Muhammad Fadlul'llah
(Prapen) bin Maulana 'Ainul
Yaqin bin Maulana Ishaq bin
Maulana Malik Ibrahim (Yunus
Salam, 1968: 6).
Sejak kecil Muhammad
Darwisy diasuh dalam
lingkungan pesantren, yang
membekalinya pengetahuan
agama dan bahasa Arab. Pada
usia 15 tahun (1883), ia sudah
menunaikan ibadah haji, yang
kemudian dilanjutkan dengan
menuntut ilmu agama dan
bahasa arab di Makkah
selama lima tahun. Ia pun
semakin intens berinteraksi
dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia
Islam, seperti Muhammad
Abduh, al-Afghani, Rasyid
Ridha, dan ibn Taimiyah.
Interaksi dengan tokoh-tokoh
Islam pembaharu itu sangat
berpengaruh pada semangat,
jiwa dan pemikiran Darwisy.
Semangat, jiwa dan pemikiran
itulah kemudian
diwujudkannya dengan
menampilkan corak
keagamaan yang sama
melalui Muhammadiyah.
Bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di
sebagian besar dunia Islam
saat itu yang masih bersifat
ortodoks (kolot). Ahmad
Dahlan memandang sifat
ortodoks itu akan
menimbulkan kebekuan
ajaran Islam, serta stagnasi
dan dekadensi
(keterbelakangan) ummat
Islam. Maka, ia memandang,
pemahaman keagamaan yang
statis itu harus diubah dan
diperbaharui, dengan gerakan
purifikasi atau pemurnian
ajaran Islam dengan kembali
kepada al-Qur'an dan al-
Hadits.
Setelah lima tahun belajar di
Makkah, pada tahun 1888,
saat berusia 20 tahun, Darwisy
kembali ke kampungnya. Ia
pun berganti nama menjadi
Ahmad Dahlan. Lalu, ia pun
diangkat menjadi khatib amin
di lingkungan Kesultanan
Yogyakarta.
Pada tahun 1902, ia
menunaikan ibadah haji untuk
kedua kalinya, sekaligus
dilanjutkan dengan
memperdalam ilmu agama
kepada beberapa guru di
Makkah hingga tahun 1904.
Sepulang dari Makkah, ia
menikah dengan Siti Walidah,
sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil. Siti
Walidah, kemudian lebih
dikenal dengan nama Nyai
Ahmad Dahlan, seorang
Pahlawanan Nasional dan
pendiri Aisyiyah. Pasangan ini
mendapat enam orang anak
yaitu Djohanah, Siradj Dahlan,
Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo
dan Safwan, 1991).
Di samping itu, KH. Ahmad
Dahlan pernah pula menikahi
Nyai Abdullah, janda H.
Abdullah. Ia juga pernah
menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH.
Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari
perkawinannya dengan Ibu
Nyai Aisyah (adik Adjengan
Penghulu) Cianjur yang
bernama Dandanah. Beliau
pernah pula menikah dengan
Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta (Yunus Salam,
1968: 9).
Mendirikan Muhammadiyah
Semangat, jiwa dan pemikiran
pembaharu dalam dunia
Islam, yang diperolehnya dari
Muhammad Abduh, al-
Afghani, Rasyid Ridha, ibn
Taimiyah dan lain-lain selama
belajar Makkah (1883-1888 dan
1902-1904), kemudian
diwujudkannya dengan
menampilkan corak
keagamaan yang sama
melalui Muhammadiyah.
Bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di
sebagian besar dunia Islam
saat itu yang masih bersifat
ortodoks (kolot).
Ahmad Dahlan memandang
sifat ortodoks itu akan
menimbulkan kebekuan
ajaran Islam, serta stagnasi
dan dekadensi
(keterbelakangan) ummat
Islam. Maka, ia memandang,
pemahaman keagamaan yang
statis itu harus diubah dan
diperbaharui, dengan gerakan
purifikasi atau pemurnian
ajaran Islam dengan kembali
kepada al-Qur'an dan al-
Hadits.
Dahlan sendiri sadar bahwa
semaangat pembaharuannya
tidak akan serta-merta dapat
dipahami dan diterima
keluarga dan masyarakat
sekitarnya. Tidak mudah
melakukan pemharuan pada
suatu sifat ortodoks yang
sudah membeku. Maka, entah
terkait atau tidak, ada sebuah
nasehat yang ditulisnya dalam
bahasa Arab untuk dirinya
sendiri.
Bunyinya demikian: "Wahai
Dahlan, sungguh di depanmu
ada bahaya besar dan
peristiwa-peristiwa yang akan
mengejutkan engkau, yang
pasti harus engkau lewati.
Mungkin engkau mampu
melewatinya dengan selamat,
tetapi mungkin juga engkau
akan binasa karenanya. Wahai
Dahlan, coba engkau
bayangkan seolah-olah
engkau berada seorang diri
bersama Allah, sedangkan
engkau menghadapi kematian,
pengadilan, hisab, surga, dan
neraka. Dan dari sekalian
yang engkau hadapi itu,
renungkanlah yang terdekat
kepadamu, dan tinggalkanlah
lainnya (diterjemahkan oleh
Djarnawi Hadikusumo).
Dalam artikel riwayat Ahmad
Dahlan di situs resmi
Parsyarikatan Muhammadiyah
(muhammadiyah.or.id), pesan
ini disebut menyiratkan
sebuah semangat yang besar
tentang kehidupan akhirat.
Dan untuk mencapai
kehidupan akhirat yang baik,
maka Dahlan berpikir bahwa
setiap orang harus mencari
bekal untuk kehidupan akhirat
itu dengan memperbanyak
ibadah, amal saleh,
menyiarkan dan membela
agama Allah, serta memimpin
ummat ke jalan yang benar
dan membimbing mereka
pada amal dan perjuangan
menegakkan kalimah Allah.
Dengan demikian, untuk
mencari bekal mencapai
kehidupan akhirat yang baik
harus mempunyai kesadaran
kolektif, artinya bahwa upaya-
upaya tersebut harus
diserukan (dakwah) kepada
seluruh ummat manusia
melalui upaya-upaya yang
sistematis dan kolektif.
Dijelaskan dalam artikel itu,
kesadaran seperti itulah yang
menyebabkan Dahlan sangat
merasakan kemunduran
ummat Islam di tanah air. Hal
ini merisaukan hatinya. Ia
merasa bertanggung jawab
untuk membangunkan,
menggerakkan dan
memajukan mereka. Dahlan
sadar bahwa kewajiban itu
tidak mungkin dilaksanakan
seorang diri, tetapi harus
dilaksanakan oleh beberapa
orang yang diatur secara
seksama. Kerjasama antara
beberapa orang itu tidak
mungkin tanpa organisasi.
Perkumpulan, parsyarikatan
dan gerakan dakwah:
Muhammadiyah.
Dahlan pun memilih strategi
yang amat baik dengan lebih
dahulu membina angkatan
muda untuk turut bersama-
sama melaksanakan upaya
dakwah tersebut, sekaligus
meneruskan cita-citanya
memajukan bangsa ini.
Apalagi ia berkesempatan
mengakselerasi dan
memperluas gagasannya
tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah itu dengan
mendidik para calon
pamongpraja (calon pejabat)
yang belajar di OSVIA
Magelang dan para calon guru
yang belajar di Kweekschool
Jetis Yogyakarta. Karena, ia
sendiri diizinkan oleh
pemerintah kolonial untuk
mengajarkan agama Islam di
kedua sekolah tersebut.
Tentu saja para calon
pamongpraja tersebut dapat
diharapkan mengaselerasi dan
memperluas gagasannya
tersebut, karena mereka akan
menjadi orang yang
mempunyai pengaruh luas di
tengah masyarakat. Begitu
pula para calon guru akan
segera mempercepat proses
transformasi ide tentang
gerakan dakwah
Muhammadiyah, kepada
murid-muridnya. Guna
mengintensifkannya, Dahlan
pun mendirikan sekolah guru
yang kemudian dikenal
dengan Madrasah Mu'allimin
(Kweekschool
Muhammadiyah) dan
Madrasah Mu'allimat
(Kweekschool Istri
Muhammadiyah). Di sekolah
ini, Dahlan mengajarkan
agama Islam dan
menyebarkan cita-cita
pembaharuannya.
Dahlan dikenal sebagai
seorang yang aktif dalam
kegiatan bermasyarakat.
Dengan gagasan-gagasan
cemerlang dan kegiatan
kemasyarakatannya, Dahlan
juga dengan mudah diterima
dan dihormati di tengah
kalangan masyarakat.
Termasuk dengan cepat
mendapatkan tempat di
organisasi Jam'iyatul Khair,
Budi Utomo, Syarikat Islam,
dan Comite Pembela Kanjeng
Nabi Muhammad saw.
Pada tahun 1912, tepatnya
tanggal 18 Nopember 1912,
Ahmad Dahlan pun
mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita
pembaharuan Islam. Ia punya
visi untu melakukan suatu
pembaharuan dalam cara
berpikir dan beramal menurut
tuntunan agama Islam. Ia ingin
mengajak ummat Islam
Indonesia untuk kembali hidup
menurut tuntunan al-Qur'an
dan al-Hadits.
Berbagai tantangan ia hadapi
sehubungan dengan gagasan
pendirian Muhammadiyah itu.
Bahkan ia dituduh hendak
mendirikan agama baru yang
menyalahi agama Islam. Kiai
palsu. Sampai ada pula orang
yang hendak membunuhnya.
Namun rintangan-rintangan
tersebut dihadapinya dengan
sabar.
Dahlan teguh pada
pendiriannya. Pada tanggal 20
Desember 1912, ia
mengajukan permohonan
kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mendapatkan
badan hukum. Permohonan itu
baru dikabulkan pada tahun
1914, dengan Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22
Agustus 1914. Tampaknya,
Pemerintah Hindia Belanda
ada kekhawatiran akan
perkembangan organisasi ini.
Sehingga izin itu hanya
berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi ini
hanya boleh bergerak di
daerah Yogyakarta
Namun, walaupun
Muhammadiyah dibatasi,
tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, dan
Imogiri dan lain-lain tempat
telah berdiri cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas
bertentangan dengan dengan
keinginan pemerintah Hindia
Belanda. Untuk mengatasinya,
maka KH. Ahmad Dahlan
menyiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang
Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama
lain. Misalnya Nurul Islam di
Pekalongan, Ujung Pandang
dengan nama Al-Munir, di
Garut dengan nama
Ahmadiyah.
Sedangkan di Solo berdiri
perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang
mendapat pimpinan dari
cabang Muhammadiyah.
Bahkan dalam kota
Yogyakarta sendiri ia
menganjurkan adanya jama'ah
dan perkumpulan untuk
mengadakan pengajian dan
menjalankan kepentingan
Islam. Perkumpulan-
perkumpulan dan Jama'ah-
jama'ah ini mendapat
bimbingan dari
Muhammadiyah, yang di
antaranya ialah Ikhwanul
Muslimin, Taqwimuddin,
Cahaya Muda, Hambudi-Suci,
Khayatul Qulub, Priya Utama,
Dewan Islam, Thaharatul
Qulub, Thaharatul-Aba,
Ta'awanu alal birri, Ta'ruf
bima kan,u wal-Fajri, Wal-
Ashri, Jamiyatul Muslimin,
Syahratul Mubtadi (Kutojo dan
Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Islam,
Muhammadiyah
disebarluaskan oleh Ahmad
Dahlan dengan mengadakan
tabligh ke berbagai kota, di
samping juga melalui relasi-
relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini
ternyata mendapatkan
sambutan yang besar dari
masyarakat di berbagai kota
di Indonesia. Ulama-ulama
dari berbagai daerah lain
berdatangan kepadanya untuk
menyatakan dukungan
terhadap Muhammadiyah.
Muhammadiyah makin lama
makin berkembang hampir di
seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei
1921 Dahlan mengajukan
permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda
untuk mendirikan cabang-
cabang Muhammadiyah di
seluruh Indonesia.
Permohonan ini dikabulkan
oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tanggal 2
September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922,
Ahmad Dahlan memimpin
delegasi Muhammadiyah
dalam kongres Al-Islam di
Cirebon. Kongres ini
diselenggarakan oleh Sarikat
Islam (SI) guna mencari aksi
baru untuk konsolidasi
persatuan ummat Islam.
Dalam kongres tersebut,
Muhammadiyah dan Al-Irsyad
(perkumpulan golongan Arab
yang berhaluan maju di bawah
pimpinan Syeikh Ahmad
Syurkati) terlibat perdebatan
yang tajam dengan kaum
Islam ortodoks dari Surabaya
dan Kudus. Muhammadiyah
dipersalahkan menyerang
aliran yang telah mapan
(tradisionalis-konservatif) dan
dianggap membangun mazhab
baru di luar mazhab empat
yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh
hendak mengadakan tafsir
Qur'an baru, yang menurut
kaum ortodoks-tradisional
merupakan perbuatan
terlarang. Menanggapi
serangan tersebut, Ahmad
Dahlan menjawabnya dengan
perkataan, "Muhammadiyah
berusaha bercita-cita
mengangkat agama Islam dari
keadaan terbekelakang.
Banyak penganut Islam yang
menjunjung tinggi tafsir para
ulama dari pada Qur'an dan
Hadits. Umat Islam harus
kembali kepada Qur'an dan
Hadits. Harus mempelajari
langsung dari sumbernya, dan
tidak hanya melalui kitab-
kitab tafsir".
Sebagai seorang yang
demokratis dalam
melaksanakan aktivitas
gerakan dakwah
Muhammadiyah, Dahlan juga
memfasilitasi para anggota
Muhammadiyah untuk proses
evaluasi kerja dan pemilihan
pemimpin dalam
Muhammadiyah. Selama
hidupnya dalam aktivitas
gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah
diselenggarakan duabelas kali
pertemuan anggota (sekali
dalam setahun), yang saat itu
dipakai istilah Algemeene
Vergadering (persidangan
umum).
Di samping aktif dalam
menggulirkan gagasannya
tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga tidak
lupa akan tugasnya sebagai
pribadi yang mempunyai
tanggung jawab pada
keluarganya. Sebagai salah
seorang keturunan bangsawan
yang menduduki jabatan
sebagai Khatib Masjid Besar
Yogyakarta, ia mempunyai
penghasilan cukup tinggi. Ia
juga berkecimpung sebagai
seorang wirausahawan yang
cukup berhasil dengan
berdagang batik. ►
HOME